10 Puisi Sapardi Djoko Damono: Hujan Bulan Juni hingga Yang Fana Adalah Waktu

10 Puisi Sapardi Djoko Damono: Hujan Bulan Juni hingga Yang Fana Adalah Waktu

10 Puisi Sapardi Djoko Damono: Hujan Bulan Juni hingga Yang Fana Adalah Waktu

Sapardi Djoko Damono (Foto: dok. Istimewa)


Dunia seni masih berduka dengan kepergia dari Penyair Sapardi Djoko Damono. Sapardi meninggal dikabarkan menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu, 19 Juli 2020 pukul 09.17 WIB.

Semasa hidup, Sapardi Djoko Damono menghasilkan berbagai karya sastra berupa puisi, cerpen dan lain-lain. 

Tak hanya itu saja, Sapardi pun pernah menuliskan beberapa novel seperti Hujan Bulan Juni yang pernah di jadikan film layar lebar. 

Nah, biar kamu lebih mengenal sajak apa saja yang pernah dibuat oleh sang pujangga ini. Yuk simak langsung puisinya dibawah ini!

1. Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni

Dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni

Dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu

2. Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

3. Pada Suatu Hari Nanti

Pada suatu hari nanti,

jasadku tak akan ada lagi,

tapi dalam bait-bait sajak ini,

kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,

suaraku tak terdengar lagi,

tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,

pada suatu hari nanti,

impianku pun tak dikenal lagi,

namun di sela-sela huruf sajak ini,

kau tak akan letih-letihnya kucari.

4. Yang Fana Adalah Waktu

Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

sampai pada suatu hari

kita lupa untuk apa

“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.

Kita abadi.

5. Sajak Kecil Tentang Cinta

Mencintai angin harus menjadi siut

Mencintai air harus menjadi ricik

Mencintai gunung harus menjadi terjal

Mencintai api harus menjadi jilat

Mencintai cakrawala harus menebas jarak

Mencintai-Mu harus menjelma aku

6. Hatiku Selembar Daun

Hatiku selembar daun

melayang jatuh di rumput

Nanti dulu

biarkan aku sejenak terbaring di sini

ada yang masih ingin kupandang

yang selama ini senantiasa luput

Sesaat adalah abadi

sebelum kausapu tamanmu setiap pagi

7. Menjenguk Wajah di Kolam

Jangan kauulang lagi

menjenguk

wajah yang merasa

sia-sia, yang putih

yang pasi

itu.

Jangan sekali-

kali membayangkan

Wajahmu sebagai

rembulan.

Ingat,

jangan sekali-

kali. Jangan.

Baik, Tuan.

8. Kenangan

/1/

Ia meletakkan kenangannya

dengan sangat hati-hati

di laci meja dan menguncinya

memasukkan anak kunci ke saku celana

sebelum berangkat ke sebuah kota

yang sudah sangat lama hapus

dari peta yang pernah digambarnya

pada suatu musim layang-layang

/2 /

Tak didengarnya lagi

suara air mulai mendidih

di laci yang rapat terkunci.

/3 /

Ia telah meletakkan hidupnya

di antara tanda petik

9. Sementara Kita Saling Berbisik

sementara kita saling berbisik

untuk lebih lama tinggal

pada debu, cinta yang tinggal berupa

bunga kertas dan lintasan angka-angka

ketika kita saling berbisik

di luar semakin sengit malam hari

memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa

unggun api sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi.

10. Sajak Tafsir

Kau bilang aku burung?

Jangan sekali-kali berkhianat

kepada sungai, ladang, dan batu

Aku selembar daun terakhir

yang mencoba bertahan di ranting

yang membenci angin

Aku tidak suka membayangkan

keindahan kelebat diriku

yang memimpikan tanah

tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku

ke dalam bahasa abu

Tolong tafsirkan aku

sebagai daun terakhir

agar suara angin yang meninabobokan

ranting itu padam

Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat

untuk bisa lebih lama bersamamu

Tolong ciptakan makna bagiku

apa saja — aku selembar daun terakhir

yang ingin menyaksikanmu bahagia

ketika sore tiba.




senimanpenyairpuisisapardi djoko damonopujanggaindonesia

Share to: