Fuji baru-baru ini mengakui bahwa ia mengidap gangguan mental Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
Akibatnya, Fuji menjadi seseorang teledor, pelupa bahkan hiperaktif usai mengonsumsi sesuatu. Lalu, apa sebenarnya apa ADHD itu? Daripada penasaran, yuk simak fakta menarik ADHD yang sudah tim KUYOU.id rangkum.
Baca Juga: Fuji Akui Idap Gangguan Mental ADHD sejak 2022, Mudah Teledor hingga Pelupa
ADHD Adalah
Foto: Istimewa
Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau ADHD adalah istilah medis untuk gangguan mental berupa perilaku impulsif dan hiperaktif. Gejala ADHD ini biasanya dialami anak-anak yang kesulitan untuk memusatkan perhatian pada satu hal dalam satu waktu.
Meski lebih rentan terjadi pada anak, gejala yang muncul bisa bertahan hingga usia remaja bahkan dewasa. ADHD terbagi menjadi 3 subtipe, yaitu:
Dominan hiperaktif-impulsif: Tipe ini biasanya muncul dengan masalah hiperaktivitas bersamaan dengan perilaku impulsif.
Dominan inatentif: Tipe ini memiliki ciri sulit untuk menaruh perhatian penuh pada satu hal dalam satu waktu. Anak-anak dengan kondisi ini cenderung tidak bisa memperhatikan dengan baik.
Kombinasi hiperaktif-impulsif dan inatentif: Jenis ini menunjukkan ciri hiperaktif, impulsif, dan tidak dapat memperhatikan dengan baik.
Penyebab ADHD
Foto: Freepik
1. Genetika
Sampai saat ini, genetik menjadi satu-satunya penyebab utama terjadinya ADHD. Selain itu, kondisi ini cenderung menurun dalam keluarga.
Dalam banyak kasus, para ahli menduga bahwa gen dari salah satu atau kedua orang tua merupakan faktor penting dalam berkembangnya kelainan ini.
2. Fungsi dan struktur otak
Studi telah mengidentifikasi beberapa kemungkinan perbedaan dalam otak seseorang dengan berkembangnya ADHD dari mereka yang tidak memiliki kondisi tersebut. Penelitian tersebut menggunakan pemindaian otak.
Hasilnya, area otak tertentu mungkin lebih kecil ukurannya pada seseorang dengan ADHD, sedangkan area lainnya bisa jadi lebih besar.
Studi lain juga menunjukkan bahwa seseorang dengan kondisi ini mungkin memiliki ketidakseimbangan dalam tingkat neurotransmitter pada otak.
Selain itu, dugaan lain menyatakan bahwa bahan kimia pada otak tersebut bisa jadi tidak berfungsi dengan baik.
3. Paparan neurotoksin selama kehamilan
Selain itu, para ahli juga menduga bahwa ada hubungan antara ADHD dengan bahan kimia neurotoksin tertentu, seperti timbal dan beberapa jenis pestisida.
Paparan timbal pada anak dapat memengaruhi tingkat pendidikan mereka. Hal tersebut berkaitan dengan kurangnya perhatian, hiperaktif, dan impulsif.
Sementara itu, paparan pestisida organofosfat juga berkaitan dengan kelainan mental tersebut. Ini adalah bahan kimia yang banyak digunakan pada rumput dan produk pertanian.
Studi menyebutkan, bahan kimia organofosfat berpotensi memberikan efek negatif pada perkembangan saraf anak.
4. Merokok dan mengonsumsi alkohol selama kehamilan
Menjadi perokok aktif atau pasif selama kehamilan juga berkaitan dengan perilaku anak dengan kondisi ADHD.
Selain itu, anak yang terpapar alkohol serta obat-obatan ketika masih berupa janin dalam kandungan juga lebih mungkin mengalami kondisi serupa.
Gejala ADHD
Foto: Freepik
1. Gejala ADHD pada anak
- Kesulitan untuk memperhatikan dan tetap teratur.
- Memiliki kegelisahan yang berlebihan.
- Mempunyai masalah dengan pengendalian diri atau perilaku impulsif.
- Anak sulit berfokus pada aktivitas dan menjadi mudah terganggu.
- Rentang perhatian yang rendah saat bermain atau mengerjakan tugas sekolah.
- Anak menjadi gelisah dan kesulitan duduk diam.
- Selalu membutuhkan gerakan atau sering berlarian.
- Berbicara berlebihan dan menyela orang lain.
2. Gejala ADHD pada remaja
- Kesulitan fokus pada tugas sekolah atau pekerjaan lain.
- Sering melakukan kesalahan saat melakukan tugas atau pekerjaan.
- Mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas, terutama tugas sekolah atau pekerjaan rumah.
- Memiliki masalah dengan organisasi dan manajemen waktu.
- Sering melupakan barang atau kehilangan barang pribadi.
- Kerap menghindari tugas atau pekerjaan yang melelahkan secara mental.
- Kesulitan menavigasi hubungan sosial dan keluarga.
- Mengalami peningkatan frustasi dan kepekaan emosional.
- Meski ADHD dapat membuat remaja terlihat “tidak dewasa”, gejala yang muncul sebenarnya hanyalah bagian dari ADHD alias tidak ada hubungannya dengan tingkat kedewasaan anak.
3. Gejala ADHD pada usia dewasa
- Kesulitan menyelesaikan tugas atau pekerjaan.
- Memiliki masalah harga diri dan kesejahteraan mental secara keseluruhan.
- Melakukan penyalahgunaan zat, terutama alkohol.
- Mengalami kesulitan dalam hubungan dengan pasangan, keluarga, atau rekan kerja.
- Sering mengalami kecelakaan atau cedera.
Baca Juga: Inara Rusli Sebut Virgoun Alami NPD, Ini Penyebab dan Gejala Pengidapnya
Cara Mengobati ADHD
Foto: Freepik
Gabungan antara obat dan terapi bisa membantu mengurangi gejala yang muncul, sehingga pengidapnya tetap bisa beraktivitas dengan normal. Adapun pengobatan ADHD yang bisa ditempuh:
1. Obat
Dokter akan meresepkan obat methylphenidate yang memang umum untuk mengatasi ADHD.
Obat satu ini bekerja dengan membuat kadar senyawa kimia pada otak menjadi lebih seimbang. Dengan demikian, gejala yang muncul bisa berkurang.
Obat methylphenidate terbilang aman untuk anak, tetapi dokter tetap memantau kondisi anak untuk tindakan antisipasi akan efek samping yang mungkin terjadi. Misalnya, kelainan pada organ jantung.
Jika nantinya anak mengalami efek samping atau ada risiko tinggi untuk mengalami hal tersebut, maka dokter bisa meresepkan jenis obat lainnya, yaitu obat amitriptyline, atomoxetine, dan obat yang masuk dalam kelompok agonis alfa, seperti clonidine.
2. Psikoterapi
Metode pengobatan lainnya adalah psikoterapi. Tidak hanya mengobati kondisi ini, terapi juga bermanfaat untuk mengobati masalah kejiwaan lain yang bisa muncul dengan ADHD, misalnya depresi.
3. Cognitive behavioural therapy (CBT) atau terapi perilaku kognitif
Terapi perilaku kognitif memiliki tujuan utama untuk membantu pengidap sehingga dapat mengubah perilaku dan pola pikir mereka ketika sedang berada pada kondisi atau permasalahan tertentu.
4. Terapi psikoedukasi
Selanjutnya, terapi psikoedukasi. Ketika menjalani terapi ini, psikiater akan mengajak pengidap untuk bercerita. Misalnya, kesulitan pengidap dalam menghadapi kondisi tersebut.
Melalui terapi ini, psikiater berharap pengidap bisa mendapatkan cara terbaik untuk mengatasi gejala yang muncul.
5. Terapi interaksi sosial
Kemudian, terapi interaksi sosial yang bisa membantu pengidap untuk mengetahui perilaku sosial yang pas untuk suatu kondisi.
Orang tua, pengasuh, keluarga, dan guru tentu memerlukan arahan sehingga bisa memberikan pendampingan pada pengidap.
Inilah sebabnya, orang-orang yang terlibat dengan pengidap juga perlu memperoleh pelatihan khusus.
Share to:
Related Article
-
Fakta Sejarah Lengkap No Bra Day Hari Tanpa Beha 13 Oktober, Bukan Ajang Tren Semata
Update|October 13, 2021 14:51:24