Mewujudkan Budaya Corporate Startup Berbasis AKHLAK BUMN

Mewujudkan Budaya Corporate Startup Berbasis AKHLAK BUMN

Mewujudkan Budaya Corporate Startup Berbasis AKHLAK BUMN

Kolase Foto dan penjelasan Budaya Corporate Startup Berbasis AKHLAK BUMN (Foto: Instagram)


Tahu nggak sih gaes, kini kita sedang menghadapi era disrupsi? Era disrupsi seringkali dikaitkan langsung dengan digitalisasi atau industry 4.0.

Dalam menghadapi Era Disrupsi ini, hampir semua lini bisnis terbilang gagap, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).  Sebagai perusahaan negara, BUMN tentu menghadapi tantangan besar untuk ikut serta dalam Era Disrupsi. 

Kegagapan tersebut berubah menjadi ketakutan sehingga memicu “otak amygdala” para Pemimpin (Leader) BUMN untuk berbuat sesuatu yang bisa “dianggap” mendukung perubahan di Era Disrupsi. Padahal hal tersebut lebih terkesan atau dianggap “ikut-ikutan” Go Digital atau berdefinisi soal Digitalisasi, Internitasasi, Otomatisasi, Big Data, Artificial Intelligence, Cloud Computing, Internet of Things atau berbagai hal yang terkesan “keren” atau tampak baik-baik saja di Era Disrupsi ini, padahal dalam penerapannya Nol Besar.

Fakta tentang Era Disrupsi itu seperti apa? 

Era Disrupsi disebut sebagai sebuah gangguan yang terjadi saat suatu inovasi masuk ke pasar dan menciptakan efek yang mengubah struktur pasar sebelumnya. Bahkan hal tersebut bisa menghancurkan perusahaan jika tak siap menghadapinya. 

Misalnya saja Nokia dan Blackberry yang bangkrut karena kehadiran Android. Dominasi Nokia di era 2000-an seketika runtuh, karena tak mau mengikuti perubahan “Inovasi” yang sedang terjadi di akhir 2000-an. Nggak cuma itu aja, masih banyak perusahaan-perusaahan yang tak siap menghadapi era disrupsi tersebut dan berujung gulung tikar.

Sekedar informasi aja nih gaes, fenomena Inovasi Disruptif tentu bukan pertama kalinya terjadi di dunia lho. Setiap masa pasti ada beragam inovasi baru yang memaksa teknologi lama atau kebiasaan lama untuk berubah, bahkan secara signifikan. 

Melihat hal ini, Profesor Harvard, Clayton Christensen menyusun sebuah penelitian dan diterbitkan pada tahun 1997 dalam buku “The Innovator’s Dilemma”. Melalui penelitian tersebut, Clayton mengenalkan teori “Disruptive Innovation” atau ”Inovasi Disruptif (Gangguan).” Teori Inovasi Disruptif ini menjadi salah satu ide paling brilian, pasalnya Profesor Christensen menjelaskan secara ilmiah melalui sebuah model yang sangat relevan dengan kondisi Era Disrupsi seperti sekarang.

Apa itu Inovasi Disrupsi?

Menurut Christensen, Inovasi Disrupsi adalah sebuah inovasi yang membantu terciptanya pasar baru dan jaringan bernilai (value network), dan bahkan bisa mengganggu pasar dan bisnis yang sudah hadir sebelumnya, dan menggantikan teknologi sebelumnya “incumbent” 

Ciri khas dari Model Profesor Harvard ini biasanya produk atau jasa dari pendatang baru memiliki produk yang lebih rendah kinerjanya, harga lebih murah dan menyasar konsumen baru (low-end market). Namun seiring berjalannya waktu, maka “incumbent” akan merasa terganggu dengan kehadirannya, dan terjadilah “gangguan” yang bisa beresiko terhadap persaingan antara “pendatang” vs “incumbent”. 

Lawan dari “Disruptive Innovation” adalah “Sustaining Innovation” atau Inovasi Bertahan. Jika perusahaan baru menciptakan sesuatu yang lebih baru, inovatif, terjangkau, layak dan kreatif, maka perusahaan baru tak harus meniru gaya bisnis “startup” perusahaan baru atau dengan kata lain berusaha membuat atau membangun “startup” untuk menyelamatkan perusahaan. 

Singkatnya, BUMN sebagai perusahaan yang sudah lebih dulu eksist menghadapi berbagai “gangguan” dari berbagai sektor bisnis. Para pendatang baru yang datang kurang dari satu dekade ini, sudah berhasil memasuki berbagai sektor yang juga menjadi bisnis BUMN. Mulai dari bidang transportasi, dimana ada Gojek dan Grab, lalu bidang Multimedia (Media, Film, OTT) sudah terganggu dengan kehadiran Social Media & OTT dan masih banyak lagi.  

Daripada melakukan hal yang sama seperti menciptakan “Disruptive Innovation” atau menciptakan produk yang sama dengan para pendatang, BUMN akan lebih ajeg jika mulai menyusun Budaya Corporate Startup, atau membuat “Sustaining Innovation” di seluruh sektor bisnis yang terdampak Era Disrupsi.

Budaya korporasi yang tepat di era disrupsi

Membangun budaya korporasi yang tepat di Era Disrupsi menjadi suatu tantangan utama. Jika tak dilakukan dengan benar, malah akan menggiring perusahaan ke jurang kehancuran. Nggak main-main gaes, perusahaan besar sekalipun bisa gulung tikar di era Disrupsi. Sehingga untuk mencapai Visi Indonesia Maju, perubahan budaya korporat yang lebih baik tentu menjadi wajib dilakukan. 

Apa yang sudah dan akan dilakukan BUMN untuk bisa beradaptasi dengan cepat? 

Langkah untuk menuju Budaya Corporate Startup bukan pekerjaan mudah, beradaptasi dengan akselerasi untuk menciptakan “Sustaining Innovation”. Peran Leader BUMN menjadi sangat sentral dalam memimpin perubahan di Era Disrupsi. Steve Jobs, pada era kejayaan Apple pernah mengatakan, “Inovasi-lah yang membedakan antara pemimpin dan pengikut.”

Sebagai pemimpin di Kementerian BUMN, Menteri Erick Thohir, memiliki peran besar dalam membawa BUMN menghadapi Era Disrupsi. Terobosan inovasi sebagai acuan yaitu AKHLAK BUMN merupakan pesan kuat dalam kepimimpinan Chief ET. AKHLAK sendiri merupakan singkatan dari Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif dan Kooperatif, dan diharapkan jika BUMN semua bekerja dengan AKHLAK maka BUMN akan bisa memberikan kontribusi yang optimal kepada bangsa dengan image yang dapat dipercaya, sesuai dengan interaksi dengan Core Value di BUMN.

“Saya yakini AKHLAK juga sebagai pilar pembangunan karakter sebuah organisasi, sejak awal sebagaimana diberikan jabatan sebagai Menteri BUMN prinsip itulah yang ingin saya terapkan kepada tim yang saya pimpin.” Menteri BUMN Erick Thohir.

Peran Milenial Sebagai Pemimpin Masa Kini

Pada Juli 2020, Menteri Erick Thohir berkomitmen dalam Awarding Day BUMN Milenial Innovation Summit 2020 bahwa “Kami di jajaran BUMN tidak segan-segannya, sudah commit bahwa secara bertahap ke depan jumlah komisaris, direksi, termasuk jumlah manager-nya minimum lima persen (generasi milenial).”

Menteri Erick Thohir meyakini peran generasi milenial ini sangat penting untuk mewujudkan daya saing yang lebih kuat lagi baik secara nasional maupun internasional. Generasi muda memang tak bisa dipandang sebelah mata lagi, berbagai perusahaan Startup baik itu Unicorn maupun Decacorn, dicetak oleh kalangan milenial. 

Senada dengan hal tersebut, salah satu Komisaris milenial PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII sekaligus pendiri Gerakan Kedaulatan Republik Indonesia (KDRI), Adrian Zakhary juga mengungkap bahwa anak muda milenial dan Gen Z harus saling bersinergi dan berkolaborasi untuk mencapai kedaulatan Digital di tanah air. 

Kedaulatan RI inilah yang nantinya akan mendukung pemerintah bisa bersaing dan nggak ketinggalan zaman. Dengan begitu, banyak lini bisnis bisa keluar dari era disrupsi. 

"Keterlibatan langsung anak muda Gen Y dan Gen Z yang bersinergi dan berkolaborasi dengan generasi lebih senior akan menjadi titik temu dan kunci dalam mengarahkan Indonesia untuk 'Berdaulat secara digital'," ungkap Adrian Zakhary. 




digitalisasiindustry 4.0Budaya Corporate StartupBudaya Start UpAdrian ZakharyKedaulatan Digital Republik IndonesiaKDRI

Share to: