Alasan Warga Lokal Tolak Pengungsi Rohingya di Pulau Weh

Alasan Warga Lokal Tolak Pengungsi Rohingya di Pulau Weh

Alasan Warga Lokal Tolak Pengungsi Rohingya di Pulau Weh

Pengungsi Rohingya (Foto: Istimewa)


Pengungsi etnis Muslim-Rohingya mendatangi ke sejumlah wilayah di Aceh, termasuk di Pulau Weh.

Dilaporkan, satu kapal reyot yang membawa 139 pengungsi Rohingya berlabuh di pesisir Pantai Le Meulee, Kota Sabang, Aceh, pada 2 Desember 2023. Semula mereka ditampung di Balohan. Namun, setelah muncul penolakan warga, untuk sementara waktu para pengungsi ini ditampung di sebuah lokasi di kawasan Dermaga CT-1 milik Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS), di Kota Sabang.

Penolakan itu terjadi seiring dengan meningkatnya arus kedatangan pengungsi Rohingya di provinsi tersebut mulai pertengahan November 2023.

Baca Juga: Sah! Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi di UNESCO

Pengungsi Rohingya Semakin Banyak dan Perilaku Buruk Mereka

Foto: Reuters

Dilansir VOA, salah satu masyarakat di Pulau Weh, Wak Dolah mengungkapkan para pengungsi Rohingya semakin banyak.

“Kalau terdampar itu lima sampai tujuh orang. Ini bukan terdampar lagi. Sudah banyak masuk ke Aceh, termasuk ke Sabang dua kali (November-Desember). Ini yang paling lama (masih di Sabang) yang kemarin mendarat di Le Meulee yang sebelumnya dibawa keluar dari sini,” katanya kepada VOA, Jumat (15/12).

Menurut Wak Dolah saat ini seluruh warga Pulau Weh menolak kedatangan pengungsi etnis Rohingya karena beragam alasan. Namun, yang paling utama adalah karena mereka kesal dengan perilaku para pengungsi Rohingya.

Foto: VOA

“Mereka bukan lagi cari suaka, misalnya sudah masuk satu kapal. Bakal ada yang masuk lagi nanti. Sudah enak soalnya makan dikasih, semuanya dikasih. Kadang-kadang makanan itu mereka bilang sedikit dan dibuang. Itu di Sabang sudah lebih dari 10 hari. Buang air besar sembarangan jadi semua orang di Sabang complain,” jelas Wak Dolah.

Tak hanya Wak Dolah, warga Kota Sabang lainnya, Nedi berpendapat pemerintah harus segera mengeluarkan pengungsi Rohingya dari Pulau Weh. “Kalau bisa secepat mungkin. Kami khususnya Kota Sabang enggak terima,” ujarnya kepada VOA, Jumat (15/12) malam.

Nedi mengatakan kehadiran pengungsi Rohingya di Pulau Weh bakal memiliki efek buruk bagi masyarakat lokal.

“Alasannya efek ke belakang nanti anak cucu. Nanti mereka yang ribut. Karena sudah ada contoh di Malaysia. Jadi mereka datang bukan lagi untuk suaka. Kalau beberapa tahun sebelumnya itu oke mereka suaka. Tapi sekarang mereka bukan lagi suaka, namun mencari tanah di negara orang, terutama di Aceh,” katanya

“Ada rasa kecemburuan masyarakat Sabang. Di Sabang banyak anak yatim dan orang susah. Kenapa enggak ada dibantu? Kenapa Rohingya yang enggak punya identitas tanpa dokumen tapi langsung diterima,” lanjut Nedi.

Seakan mewakili warga Pulau Weh, Nedi meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk segera mengambil tindakan tegas terkait maraknya pendaratan pengungsi Rohingya di Aceh.

“Saya mohon ke Pak Jokowi tegas menghadapi Rohingya, jangan sampai seperti Malaysia, itu contoh. Jadi kalau bisa secepat mungkin, Pak Jokowi itu langsung ambil tindakan tegas. Pesan saya kepada Presiden Jokowi untuk tegas dan secepat mungkin mengeluarkan Rohingya dari Sabang. Harus segera dipulangkan,” ujarnya.

Baca Juga: Presiden Jokowi Bangga Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi di UNESCO

Polda Aceh Bongkar Penyeludupan Etnis Rohingya ke Indonesia

Foto: VOA

Dalam perkembangan lainnya Polda Aceh telah membongkar kasus penyelundupan etnis Rohingya ke Indonesia, yang kebanyakan berasal dari Cox’s Bazar di Bangladesh.

Penyelundupan itu dikendalikan oleh petugas keamanan kamp di Bangladesh dan beberapa kapten kapal. “Para pengungsi Rohingya dipungut biaya sebesar 20.000—100.000 taka atau Rp3-15 juta per orangnya," kata juru bicara Polda Aceh, Kombes Joko Krisdiyanto, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (15/12).

Joko menjelaskan setelah uang dari pengungsi Rohingya terkumpul, maka koordinator yang terdiri dari kapten kapal, nakhoda, dan operator mesin membeli kapal. Lalu, mereka membeli bahan bakar minyak dan makanan untuk bekal selama pelayaran menuju negara tujuan.

“Setelah dipotong biaya operasional, keuntungannya dibagi untuk kapten kapal, nakhoda, operator mesin, dan koordinator utama yang berada di kamp Cox's Bazar Bangladesh,” jelasnya.

Joko juga menjelaskan sebelum keberangkatan para pengungsi Rohingya terlebih dahulu bisa memilih ke mana akan berlabuh seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Namun karena ketatnya penjagaan perairan Thailand dan Malaysia, mereka umumnya mengalihkan tujuannya ke Indonesia.

"Sedangkan keterlibatan warga negara Indonesia dalam kejahatan penyelundupan manusia ini adalah membantu mengeluarkan para etnis Rohingya dari kamp atau tempat penampungan di Aceh. Lalu, membawanya menuju Malaysia melalui Tanjung Balai di Sumatra Utara atau Dumai, Riau dengan biaya Rp5-10 juta per orang," jelas Joko.

Polda Aceh sampai saat ini hanya fokus terhadap pengamanan dan pemberian bantuan kemanusian untuk pengungsi Rohingya, sembari menunggu penanganan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dan UNHCR.

Saat ini jumlah pengungsi Rohingya di Aceh sejak pertengahan November 2023 mencapai 1.543 orang, tersebar di Pidie, Sabang, dan Lhokseumawe.




RohingyaPengungsi Rohingya di AcehPengungsi Rohingya di AcehAlasan penolakan pengungsi Rohingya di Pulau Weh

Share to: