KH. Masykur, Ulama NU Dibalik Lahirnya Sarikat Buruh Muslim Indonesia

KH. Masykur, Ulama NU Dibalik Lahirnya Sarikat Buruh Muslim Indonesia

KH. Masykur, Ulama NU Dibalik Lahirnya Sarikat Buruh Muslim Indonesia

KH. Masykur (Foto: Istimewa)


Bulan Mei dikenal sebagai hari buruh yang diperingati di seluruh dunia. Di tanah air, kelahiran organisasi buruh sudah terjadi sejak zaman penjajahan hingga hari ini terus bertumbuh. Salah satu organisasi buruh itu adalah Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) yang digagas KH Masykur. Berikut perjalanan.KH Masykur dan Sarbumusi yang digagasnya.

Ketimpangan ekonomi serta keberpihakan kepada kapitalisme merupakan salah satu faktor yang mendorong lahirnya organisasi buruh di negeri ini. Sejarah mencatat bahwa pada abad ke-19, di Indonesia telah berdiri beberapa organisasi buruh seperti; Nederland Indische Onderwijs Genootschap (1897), Suikerbond (1906), Cultuurbond (1907). Namun organisasi buruh ini hanya bertahan di masa penjajahan Belanda, lambat laun namanya hilang seperti ditelan bumi.

Selanjutnya pasca kemerdekaan dari tahun 1945-1966, banyak bermunculan organisasi yang memayungi kaum buruh di Tanah Air. Salah satu organisasi buruh di Indonesia yang sudah cukup lama berdiri adalah Sarekat Buruh Muslim Indonesia (Saburmusi), yang sampai saat ini masih aktif dalam menyuarakan aspirasi kaum buruh. Namun para tokoh di balik berdirinya Saburmusi, seperti tenggelam dimakan zaman. Mereka hampir dilupakan oleh generasi muda, padahal mereka adalah pejuang Muslim yang turut bertempur di medan perang demi kemerdekaan NKRI.

Salah satu tokoh penggagas Saburmusi adalah KH. Masykur, beliau lahir di Singosari, Malang, Jawa Timur, pada 30 Desember 1902. Orangtuanya telah mengajaknya berangkat haji ke Tanah Suci, Mekkah, saat usianya masih 9 tahun. Kemudian usai menunaikan ibadah haji, Masykur kecil disekolahkan di pesantren Bungkuk, Pimpinan KH. Thahir. Selanjutnya Masykur melanjutkan pendidikan agamanya di Pesantren Sono, Buduran, Sidoarjo. Di sanalah ia mempelajari ilmu Nahwu dan Sharf  (kaidah Bahasa Arab). Empat tahun kemudian beliau mendalami ilmu fikih di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo.

Usai mempelajari ilmu fikih di Pesantren Siwalan, Masykur yang saat itu mulai beranjak dewasa, menyambangi KH. Hasyim Asy’ari guna mempelajari ilmu tafsir dan hadis di Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Setelah selesai mengaji di Tebu Ireng, beliau pergi menuju Pesantren Bangkalan, Madura, untuk belajar ilmu qiraat Alquran kepada KH. Kholil Bangkalan. Rupanya menimba ilmu di beberapa pesantren belum dirasa cukup bagi Masykur muda  yang haus akan ilmu agama. Maka usai mengaji kepada Kyai Kholil, beliau melanjutkan pendidikan agamanya di Pesantren Jamsaren, Solo, Jawa Tengah. Di sinilah pesantren terakhir yang disambanginya untuk menuntut ilmu sampai akhirnya beliau kembali ke kampung halamannya untuk mendirikan sekolah.

Kegigihan KH. Masykur dalam menuntut ilmu rupanya membuahkan hasil yang luar biasa -tidak hanya mengaji kitab kuning- ternyata keahlian berorganisasi muncul saat ia menjadi santri. Karir organisasinya makin menonjol ketika menetap di Singosari, Malang, selepas menimba ilmu di Pesantren Jamsaren, Solo. Beliau pun aktif dalam pergerakkan kemerdekaan Indonesia seperti Laskar Sabilillah dan Hizbullah. Bahkan ketika Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari menggaungkan “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945, beliaulah salah satu tokoh penggerak perjuangan santri pada November 1945 di Surabaya.

Setelah 10 tahun Indonesia merdeka, pada 1955,  dilaksanakanlah pemilu untuk pertama kalinya di negeri ini. Saat itu banyak bermunculan organisasi buruh. Berdirinya organisasi ini tak terlepas dari partai politik yang menaunginya, beberapa sumber menjelaskan bahwa, organisasi buruh yang berdiri pada awal Indonesia merdeka, sejatinya merupakan underbow partai politik untuk memperkuat eksistensinya. Ketika itu organisasi buruh yang tergolong organisasi besar adalah; Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbindo) yang berafiliasi ke Masyumi, Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia (KBKI) yang berafiliasi ke PNI, dan muncul pula Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berafiliasi ke PKI.

Karena semakin marak pertumbuhan organisasi buruh saat itu, maka Nahdatul Ulama sebagai Ormas dan partai politik, turut membentuk organisasi Sarekat Buruh Muslimin Indonesia (Saburmusi). Didirikannya Saburmusi ini adalah sebagai bentuk kepedulian para kyai terhadap kaum pekerja. Di samping itu para kyai Nahdatul Ulama termasuk KH. Masykur menilai bahwa, SOBSI yang berafiliasi ke PKI merupakan suatu organisasi buruh yang memiliki kekuatan yang besar, karena itu perlu diimbangi dengan gerakan buruh Muslim, inilah salah satu faktor yang mendorong para kyai NU untuk mendirikan Saburmusi.

Saburmusi pertama kali berdiri pada 27 September 1955 di pabrik gula Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur. Sejak pertama kali berdiri, organisasi buruh Muslim ini mampu menyaingi SOBSI. Dalam kurun waktu 10 tahun Saburmusi telah memiliki anggota sekitar 2,5 juta orang, banyaknya anggota Saburmusi menjadi saingan berat bagi SOBSI kala itu.

Setelah Orde Lama lengser, SOBSI diberantas oleh TNI dengan bantuan Saburmusi. Selanjutnya pada awal era Orde Baru,  KH. Masykur sempat memimpin Saburmusi, saat itu pula organisasi ini mampu mengadakan kunjungan ke Uni Soviet guna melihat perkembangan buruh sekaligus umat Islam di negeri tersebut. Eksistensi Saburmusi di Indonesia  awalnya adalah untuk menandingi SOBSI namun disamping itu juga Saburmusi berdiri untuk membela nasib kaum buruh dan keluarganya.

Namun pada masa Orde Baru berkuasa, Saburmusi merasa kecewa dengan rezim ini. Maka sebagai corong bagi NU dalam bidang perburuhan, organisasi yang turut didirikan oleh KH. Masykur, berani mengambil sikap kritis terhadap intervensi asing dalam kebijakan perburuhan pada masa Orde Baru. Namun Saburmusi pun tak berdaya ketika rezim Orde Baru menggandeng konsultan perburuhan asing seperti Fredreich Ebert Stiftung (FES) untuk melebur semua serikat buruh ke dalam Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) pada 1973, saat itu pula Saburmusi dilarang melakukan pembinaan serta perlindungan terhadap anggotanya jika tidak turut bergabung dengan FBSI.

Sikap kritis Saburmusi terhadap Orde Baru, akhirnya membekukan organisasi buruh Muslim terbesar ini, namanya kian meredup selama 3 dekade dan mulai mengibarkan benderanya kembali pada tahun 1998 pasca lengsernya Suharto, Mantan Presiden RI ke-2.

Dalam perjalanannya yang panjang, KH. Masykur banyak malang melintang di berbagai bidang, dari kepesantrenan, peperangan melawan penjajah, sampai perburuhan bahkan kementrian. Saat memasuki usia senja beliau menggagas dan mendirikan Universitas Islam Malang (Unisma). Pada 19 Desember 1992, beliau menghembuskan nafas terakhir, meskipun beliau tidak lagi bersama kita di dunia ini, namun hasil perjuangannya dapat kita rasakan sampai saat ini. Semoga Allah merahmatinya! 




KH. MasykurMay DayHari Buruh

Share to: