Tanggal 2 Mei diperingati sebaga hari pendidikan Nasional. Nah beberapa tokoh Indonesia ini sudah memperjuangkan dan mempelopori tentang betapa pentingnya pendidikan untuk masyarakat Indonesia. Berikut 5 tokoh pendidikan yang harus kamu tahu:
1. Kyai Haji Mohammad Hasjim
Asy'arie
Di urutan pertama adalah Kyai
Haji Mohammad Hasjim Asy'arie, beliau lahir di Desa Gedang, Kecamatan Diwek,
Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 – meninggal di Jombang, Jawa
Timur, 25 Juli 1947 pada umur 72 tahun; 4 Jumadil Awwal 1292 H- 6 Ramadhan 1366
H; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah salah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang
terbesar di Indonesia. Di kalangan Nahdliyin dan ulama pesantren ia dijuluki
dengan sebutan "Hadratus Syeikh" yang berarti Maha Guru.
2. Ki Hadjar Dewantara
Tokoh pendidikan kedua Indonesia
adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal dengan Ki Hajar
Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro;
lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada
umur 69 tahun, beliau adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia,
kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari
zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu
lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk
bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang
Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang
diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan
ciptaannya, TUT WURI HANDAYANI, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional
Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia,
KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan
20.000 rupiah tahun emisi 1998.
3. Kyai Haji Ahmad Dahlan
Lalu ada Kyai Haji Ahmad Dahlan
atau Muhammad Darwis (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di
Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan
Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari
keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka
di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad
Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji
dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai
berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad
Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke
kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak
kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru
kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.
Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam
kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga
dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia
juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi
Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun
mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam
di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara
berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam
Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits.
Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak
awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi
bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
4. Raden Adjeng Kartini
Selanjutnya adalah Raden Adjeng
Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini, beliau lahir di
Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17
September 1904 pada umur 25 tahun. R.A Kartini adalah seorang tokoh pendidikan
perempuan dari suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal
sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
5.Dewi Sartika
Kemudian adalah Dewi Sartika,
beliau dilahirkan di keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan Raden
Somanagara. Meskipun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh
menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi
Sartika diasuh oleh pamannya (kakah ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka.
Oleh pamannya itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda,
sementara wawasan kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten
Residen berkebangsaan Belanda.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah
merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang
rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya
yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan
sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati
R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri
(Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang :
Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid.
Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan
pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905,
sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon
Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta
bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun
1909, bahasa sunda bisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di
beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakolah Istri, terutama yang
dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama
dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakolah Istri di
kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan).
Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakolah
Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah
Pasundan yang belum memiliki Sakolah Kautamaan Istri tinggal tiga/empat,
semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakolah Kautamaan Istri
didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki
Sakolah Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah
beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi
Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun,
yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya
dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah
Hindia-Belanda.
Dewi Sartika meninggal 11
September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan di pemakaman Cigagadon-Desa
Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks
Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Kabupaten Bandung.
Share to:
Related Article
-
Viral Pendaki Hilang 30 Jam di Gunung Guntur Garut Ditemukan Tanpa Pakaian, Begini Ceritanya
Viral|July 06, 2020 11:50:03