Malam itu sejumlah pengguna
kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek dibuat khawatir atas permintaan sejumlah kepala
daerah penyangga Ibu Kota Jakarta untuk menghentikan operasional "commuter
line" pada 18 April 2020.
Seorang pengguna KRL aktif,
Nisaul Izzati (27) duduk menunggu kereta terakhir tujuan Jakarta Kota di teras
mushala di Stasiun Manggarai, Jakarta, Jumat 17 April 2020 malam.
Nisa berprofesi sebagai dokter
umum di Unit Gawat Darurat (UGD) salah satu rumah sakit umum Pemerintah DKI
Jakarta di wilayah Sawah Besar, Jakarta Pusat, itu mendapat giliran dinas
malam.
RS tempat Nisa bekerja merawat
pasien COVID-19 dengan status orang dalam pengawasan (ODP) dan pasien dalam
pemantauan (PDP), walaupun bukan sebagai RS rujukan.
Dulunya, Nisa masih bisa
pulang-pergi Bekasi-Jakarta dengan senang, tapi sekarang semuanya berubah
tugasnya menjadi sangat berat ditambah dengan jadwal KRL yang biasa
ditumpanginya.
Semuanya telah berubah gara-gara
Covid-19, mulai dari tugasnya bahkan orang-orang yang tahu tentang pekerjaan
Nisa.
Kekhawatiran Nisa mulai menjadi
nyata, sejak kepulangannya dari umrah Januari 2020. Indonesia mengkonfirmasi
kasus COVID-19 pertama pada Maret 2020, dan kini angkanya terus bertambah.
Tak cuma menyerang masyarakat umum, melainkan menyerang tenaga medis. Nisa harus menjaga fisik dan psikisnya agar imunitasnya tetap baik.
Penyetopan operasional KRL
menurut Nisa tak tepat, karena masih banyak tenaga medis yan harus berjuang
melawan corona dengan mengandalkan KRL.
Nisa dan rekan-rekanya yang
mengandalkan tranportasi umum mencari berbagai cara agar tetap bisa melakukan
tugasnya. Namun karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) niat Nisa yang
ingin nebeng pun terpaksa batal.
"Tadinya mau 'nebeng' aja,
tapi kan sudah tidak bisa, kalau naik mobil dibatasi, apalagi naik motor harus
satu alamat KTP," kata Nisa.
Akhirnya Nisa meminta pertolongan
orang tuanya untuk antar jemput dirinya ke RS. Nisa tak mendaftarkan dirinya
agar mendapat fasilitas penginapan yang disediakan pemprov DKI karena berbagai
alasan. selain karena jumlah fasilitas yang terbatas, Nisa enggan meninggalkan
orangtuanya yang dia anggap sebagai penyemangatnya.
"Orang tua, alasan yang
membuatkan aku tetap pingin pulang (ke rumah)," kata Nisa yang tinggal
bersama kedua orang tuanya di Bekasi.
Padahal Nisa bisa saja membawa
resiko penularan Covid-19 bila dia tak menerapkan protokol kesehatan Covid-19 dengan
benar. Namun dengan segala upaya Nisa selalu menjalankan protokol kesehatan Covid-19
dengan benar agar tak menularkan virus kepada orangtuanya.
"Aku sekarang kalau pulang
enggak salim, enggak peluk-peluk mama atau papa ku, lebih sering di kamar aja,
enggak berani keluar-keluar," kata Nisa.
Orangtua Nisa pernah memintanya
mencari kosan karena kasihan dengan kondisi Nisa yang sering kelelahan usai
bekerja. Namun, karena profesinya, Nisa dianggap sebagai pembawa virus.
Pernah suatu ketika, tetangga
Nisa yang sudah jadi langganan menjahit, menjaga jarak saat menyerahkan baju
dinas pesanannya.
"Maaf ya Nisa, tante enggak
berani keluar, dari sini aja, tante takut ketular," kata Nisa mengulang
perkataan tetangganya yang menyerahkan baju pesanannya dari balik pagar.
Stigmatisasi itu juga dialami
salah satu pasien di rumah sakit tempat Nisa bekerja. Bahkan jenazahnya tidak
diterima di kampung halamannya di Subang, Jawa Barat, karena masyarakat tak
paham yang sebenarnya.
Namun Nisa masih bersyukur,
dibanding teman-temannya yang mengalami keadaan tidak menyenangkan selama
COVID-19. Mereka yang sudah berkeluarga sering kali tak bisa pulang ke rumah
demi melindungi keluarganya.
Agar tetap nyaman saat di perjalanan,
Nisa menutupi identitasnya dengan tidak memakai baju dinas saat berangkat
kerja.
Harapan Nisa adalah, tenaga medis
yang masih mengandalkan transportasi umum, diberikan fasilitas agar tetap bisa
pulang pergi dengan aman dan nyaman. Salah satunya dengan menambah jumlah
fasilitas tempat tinggal, terutama yang dekat dengan rumah sakit.
Menurut Nisa, munculnya stigmatisasi
adalah karena informasi yang tersebar ke masyarakat tidak menyeluruh. Maka dari
itu diperlukan sosialisasi yang tepat dan terarah agar tidak memuncukan
stigmatisasi yang berlebihan.
Kini Nisa semakin bersyukur,
karena berkat pelayanan kesehatan yang jauh lebih baik, tingkat kesembuhan dari
Covid-19 lebih besar dari kematiannya.
Share to:
Related Article
-
Biodata Jakob Oetama, Lengkap Umur dan Agama, Pendiri Kompas Group Tutup Usia di 88 Tahun
Update|September 09, 2020 14:36:07