Mengenal Biografi Sutan Syahrir: Lulusan Belanda, Jejak Politik, Perdana Menteri RI hingga Pembuangan Banda Neira

Mengenal Biografi Sutan Syahrir: Lulusan Belanda, Jejak Politik, Perdana Menteri RI hingga Pembuangan Banda Neira

Mengenal Biografi Sutan Syahrir: Lulusan Belanda, Jejak Politik, Perdana Menteri RI hingga Pembuangan Banda Neira

Sutan Syahrir (Foto: dok Istimewa)


Nah, pasti kamu sudah tahu dengan tokoh politik yang berhasil mengalahkan Belanda melalui strategi cerdiknya yang bernama Sutan Syahrir. Yuk kita lihat biografinya yang merupakan lulusan Belanda sampai dibuang di Banda Neira. 

Sutan Syahrir atau lebih akrab dipanggil ‘Bung Kecil‘ oleh rekan-rekan seperjuangan merupakan Perdana Menteri pertama Indonesia. Perjuangan Sutan Syahrir tidaklah mudah gaes. Penuh lika-liku untuk menjadi sosok menteri di Indonesia. 

Nah biar gak kelamaan, langsung saja ini biografi dari Sutan Syahrir gaes. Yuk simak!

BACA JUGA: Bacaan Teks Proklamasi Kemerdekaan ala Soekarno, Lengkap Kisah Sehari Sebelum Merdeka

Masa Studi di Belanda & Perjuangan Awal (1929-1935)

Setelah lulus dari AMS tahun 1929, Syahrir melanjutkan kuliah di Eropa, tepatnya di Fakultas Hukum Universiteit van Amsterdam. Tidak lama setelah keberangkatan dirinya ke Amsterdam, pemimpin Hindia Belanda waktu itu Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff, mengeluarkan perintah untuk menangkap pemimpin PNI termasuk Sukarno, Gatot Mangkupradja, dan kawan-kawan di tanah Hindia Belanda. 

Pada masa awal kuliahnya, Syahrir aktif mengikuti kegiatan sebuah klub studi yang bernama Sociaal Democratische Studenten Club. Klub studi yang diikutin sama Syahrir ini merupakan bentukan dari Partai Sosialis Demokrat Belanda (Sociaal Demokratische Arbeiderspartij – SDAP). Pada klub inilah, Syahrir untuk pertama kalinya membedah secara mendalam gagasan-gagasan politik kelas dunia yang sedang bergelora saat itu, seperti pemikiran Friedrich Engels, Otto Bauer, Karl Marx, Rosa Luxemburg, dan filsuf kelas dunia lainnya. Mendapatkan kesempatan pendidikan di Eropa benar-benar membuat pemikiran Sjahrir menjadi terbuka dari berbagai macam gagasan serta situasi politik internasional yang sedang terjadi.

Sampai pada akhirnya, karena masalah keuangan keluarga, Syahrir terpaksa harus pindah dan tinggal di rumah ketua klub SDAP sekaligus sahabatnya, Salomon Tas. Sejak saat itu Sjahrir pindah kuliah ke Universiteit Leiden dan mulai belajar mandiri dan bekerja di sebuah perusahaan transportasi. Pengalaman pertamanya bekerja itu, membuat Syahrir merasakan ketidakadilan bagi kaum pekerja. Pengalamannya bekerja serta aktivitasnya di serikat buruh inilah yang membuat pemikiran Syahrir semakin terarah pada gagasan sosialis demokratis yang mengusung kesetaraan dan keadilan.

Sementara itu, pergerakan awal untuk membebaskan Hindia Belanda sudah dimulai oleh para senior Syahrir, tepatnya oleh gerakan Perhimpunan Indonesia (PI) di Rotterdam yang saat itu diketuai oleh Mohammad Hatta. Singkat kata, Bung Hatta yang saat sedang repot oleh berbagai macam hal, memerlukan sosok pendamping. Berita tentang seorang pemuda berbakat yang bernama Syahrir membuat Hatta memanggilnya untuk membantu pergerakan dari Perhimpunan Indonesia sebagai sekretaris.

Sejak saat itulah, Hatta dan Syahrir Bapak Bangsa Indonesia yang berbeda umur cukup jauh ini dipertemukan dan mulai beradu gagasan kenegaraan demi cita-cita gila mereka untuk memerdekakan Indonesia. Namun demikian, mereka berdua ini sempat mengalami kendala karena konflik internal dalam PI, di mana sebagian besar anggotanya menginginkan perjuangan kemerdekaan dari arah ideologi komunis, sementara Syahrir dan Hatta lebih cenderung ke arah sosialis & nasionalis. Akhirnya Hatta dan Syahrir pun dikeluarin dari keanggotaan PI.

Sementara itu, keadaan perjuangan di tanah air juga sedang terhambat. Terutama pasca penangkapan Soekarno tahun 1929 oleh de Graeff, pergerakan kemerdekaan yang tadinya dimotori oleh PNI. Terlebih lagi, pecahan PNI yang membentuk partai baru bernama Partindo yang cenderung kooperatif terhadap pemerintah Hindia-Belanda. Ketika pergerakan kemerdekaan Indonesia hampir padam sepenuhnya, Hatta & Sjahrir segera membentuk surat kabar yang dinamakan Daulat Ra’jat untuk terus menyuarakan suara pemberontakan pada Hindia Belanda untuk membakar semangat pemberontakan.

Selain aktif menulis di surat kabar, Hatta dan Syahrir yang gemas dengan gerakan lapangan akhirnya memutuskan untuk membentuk kembali PNI-Baru tahun 1931. Berbeda dengan PNI-Lama bentukan Sukarno yang bersifat menggalang massa secara serabutan, PNI-Baru ini lebih bersifat ke kaderisasi yang mengutamakan pendidikan bertahap bagi para anggotanya untuk menjadi aktivis pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kalo Sukarno fokus pada kuantitas, Sjahrir & Hatta fokus pada kualitas. Nah, pada titik inilah Sjahrir & Hatta kembali menegaskan bentuk perjuangan mereka bahwa cita-cita mereka bukan sekedar mendapat kedudukan setara dengan Kerajaan Belanda sebagai anggota persemakmuran, tapi untuk menjadikan Indonesia negara yang merdeka sepenuhnya.

BACA JUGA: Kisah Konflik Soekarno-Hatta Mengejar Kemerdekaan, Musuh Politik Dibalik Bubarnya Dwitunggal

Memulai Pergerakan PNI-baru di Hindia (1931-1934)

Pada tahun 1931, Syahrir memutuskan untuk sementara meninggalkan studinya dan kembali ke Jakarta untuk terjun langsung dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia dengan tokoh-tokoh dan aktivis nasional. Sementara Hatta masih di Belanda karena kagok ingin menuntaskan gelar doctorandus yang tinggal sebentar lagi selesai.

Sesampainya di Batavia (Jakarta), yang ada di kepala Syahrir cuma satu hal, yaitu gimana caranya ngerekrut pemuda-pemuda potensial untuk ikut gerakan pemberontakan melawan Hindia Belanda. Tentu ini bukan hal mudah untuk mengajak para kaum muda untuk memberontak, tapi kepiawaian dan pengalaman Syahrir sewaktu aktif di serikat pekerja Belanda sangat membantu dalam membentuk jaringan underground pemberontakan sampai-sampai tidak terdeteksi (setidaknya sampai 1934) oleh polisi Hindia-Belanda.

Kaderisasi kaum muda semakin gencar terutama ketika Syahrir didaulat menjadi ketua umum PNI-baru pada kongres PNI-Baru Yogjakarta 1932. Gagasan yang menginspirasi Syahrir dalam mendidik kaum muda bermuara pada ide-ide Karl Marx yang mengusung kesejahteraan sosial, kesetaraan, serta kemandirian ekonomi. Peristiwa ini dinilai cukup unik dalam sejarah, ketika biasanya ide sosialisme ditanamkan di kalangan proletariat dan kaum buruh. Di tanah Hindia, gagasan ini malah diusung oleh kaum terpelajar dan kalangan menengah atas. Akibatnya, gerakan ini berjalan jadi jauh lebih cerdas dan terukur serta tidak mudah goyah oleh isu-isu propaganda. Hal ini membuat Belanda semakin kewalahan dalam meredam aktivitas gerakan Sjahrir, dan kawan-kawan.

Tahun 1933, Hatta kembali ke tanah Hindia dengan menyandang gelar dokterandus. Kedatangan Hatta disambut baik kalangan aktivis Hindia sekaligus membuat Syahrir menyerahkan kepemimpinan PNI-Baru ke seniornya tersebut. Sementara itu, Sukarno yang sudah dibebaskan dari penjara Sukamiskin juga terus berjuang melalui ‘kendaraan’ lain, yaitu Partindo. Pada saat itu, Sukarno & Partindo yang fokus pada penggalangan massa secara kuantitatif mengklaim memiliki pengikut lebih dari 20,000 orang, sedangkan PNI-Baru yang fokus pada kaderisasi dan anggota yang terdidik, baru memiliki 1,000 anggota.

Gub Jend, de Graeff yang pensiun tahun 1931 diganti oleh Bonifacius Cornelis de Jonge. Baru aja ngejabat, Jonkheer de Jonge ini langsung pusing menghadapi pergerakan para aktivis kemerdekaan yang semakin terkoordinir dan memiliki basis massa. Akhirnya De Jonge mau gak mau harus kerja extra untuk memata-matai serta menangkapi orang-orang yang terbukti terlibat dalam gerakan pemberontakan. Salah satu tokoh yang ditangkep pertama adalah Sukarno (lagi) tahun 1933. Khawatir dengan basis masa fans Sukarno yang banyaknya sudah kelewatan di Pulau Jawa, Sukarno dibuang jauh-jauh ke Ende, Flores. Februari 1934, giliran duet maut Sjahrir & Hatta yang diciduk.

Hatta ditahan di Penjara Glodok, Batavia, sedangkan Syahrir dijeblosin di Penjara Cipinang, Meester Cornelis. Awalnya, sel tempat Syahrir cukup nyaman buat ukuran penjara. Namun pada Desember 1934 Syahrir, Hatta, dan banyak aktivis lain seperti Tjipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, dkk dibuang ke Boven Digoel, di pelosok paling pelosok dari Pulau Papua.

Di Pembuangan Digoel & Banda Neira (1935-1942)

Sjahrir yang sampai di Digoel bingung karena harus bikin rumah sendiri dengan nebang kayu dari hutan lebat Papua. Boven Digoel adalah tanah pengasingan yang benar-benar gak ada apa-apa. 

Syahrir merasa kesepian di tanah pengasingan. Di tanah buangan tanpa ada rumah sakit, sekolah, dan kepastian akan masa depan. Syahrir banyak menghabiskan waktu untuk menulis surat pada istrinya Maria Duchateau di Belanda, yang sudah lama tidak ia temui.

2 Januari 1936, penderitaan Sjahrir, Hatta, dan kawan-kawan jadi berkurang karena dipindahkan ke Banda Neira, Maluku. Di tempat inilah akhirnya Syahrir menemukan kedamaian tinggal di daerah terpencil dengan di kelilingi penduduk lokal yang bersahabat. 

Selama 5 tahun di Banda Neira mereka menunggu pembebasan, sampai Jepang menyerang Pearl Harbour (Desember 1941), Kepulauan Pasifik, dan Malaya. Dalam ekspansi wilayah itu, Pulau Ambon juga dikepung oleh Jepang. Pemerintahan Hindia langsung memutuskan memindahkan Syahrir dan tahanan-tahanan lain ke Pulau Jawa sampai akhirnya Jepang menguasai Nusantara dan membebaskan semua tawanan politik Hindia Belanda.

Diplomasi cerdik Bung Kecil untuk mendapat pengakuan Internasional (1945-1949)

Berdasarkan kacamata Indonesia, bangsa ini memang sudah merdeka, tapi masih sangat rapuh. Untuk menjaga status kemerdekaan, Indonesia membutuhkan bentuk sistem pemerintahan yang jelas dan terstruktur. Keesokan harinya Sukarno diangkat menjadi presiden, sementara Hatta menjadi wakil presiden – keduanya berperan sebagai lembaga eksekutif. Sementara itu, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang kemudian berfungsi sebagai badan legislatif (DPR) agar jadi penyeimbang keberadaan eksekutif. Elemen pemerintah yang krusial ini, dipercayakan kepada Syahrir untuk menjadi ketua KNIP. Sampai pada akhirnya,14 November 1945 Syahrir diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia yang pertama pada umur 36 tahun.

Pasca kemerdekaan, Indonesia memiliki 2 PR besar, yaitu: (1) upaya mempertahankan status kemerdekaan dari serangan militer Belanda maupun daerah-daerah terpencil yang masih dikuasai sisa tentara Jepang. (2) Upaya memenangkan pengakuan dunia internasional yang perlu diperjuangkan dalam bentuk perundingan dan perjanjian.

Lagi-lagi, terdapat perselisihan cara pandang antar para petinggi. Bagi Tan Malaka dan Sudirman yang berjuang di garis depan, tidak perlu lagi berunding dengan pihak luar untuk mencapai kemerdekaan yang utuh. Sementara bagi Hatta dan Syahrir, kemerdekaan yang realistis sesungguhnya hanya bisa dicapai secara bertahap, rapi, dan elegan, bukan frontal dengan angkat senjata. Setelah berbagai macam drama perselisihan antar 2 kubu Bapak Bangsa kita. Pada akhirnya, Jendral Sudirman & Tan Malaka banyak berperan pada PR pertama untuk meredam agresi militer. Sementara Syahrir dan Bung Hatta fokus pada misi kedua, mendapatkan pengakuan dunia internasional.

Kemungkinan besar Syahrir sudah meramalkan India akan segera merdeka dari kolonisasi Inggris dan memiliki kekuatan politik yang cukup kuat. Hal tersebut pun terbukti, India merdeka dari kolonisasi Inggris 15 Agustus 1947. Jawaharlal Nehru, Bapak Bangsa India sekaligus Perdana Menteri pertama masih ingat bantuan dari Syahrir, akhirnya mengundang Indonesia berpartisipasi di Konferensi Hubungan Negara-negara Asia di New Delhi. Di acara ini, jaringan internasional Syahrir makin berkembang dan akhirnya dia diundang ke berbagai negara untuk memperkenalkan Indonesia. Inilah kenapa strategi diplomasi Syahrir seringkali disebut “diplomasi kancil”. Setelah dari India, Syahrir melanjutkan diplomasinya ke Kairo, Mesir, Suriah, Iran, Burma, dan Singapura untuk membangun hubungan baik dan minta dukungan pengakuan dunia kepada Indonesia. 

Prestasi kedua Syahrir adalah trik Syahrir mensiasati hasil Perundingan Linggarjati. Pada November 1946, delegasi Belanda siap berunding dengan delegasi Republik untuk menyelesaikan sengketa wilayah Indonesia. Dengan segala cara Sjahrir mengupayakan agar Belanda mau berunding, termasuk dengan cara membujuk teman-teman dia saat kuliah dulu yang sekarang sudah pada jadi pejabat di Belanda. Gayung bersambut, Syahrir akhirnya berhasil ngadain Perundingan Linggarjati. Walaupun hasil perjanjian Linggarjati dinilai merugikan wilayah Indonesia, tapi dengan cerdiknya Sjahrir mengusulkan tambahan satu pasal, yaitu pasal perundingan tingkat PBB kalau saja nanti ada perselisihan di kemudian hari. Tanpa pikir panjang, Belanda setuju-setuju aja karena hasil perjanjiannya nguntungin Belanda banget.

Ternyata pasal tambahan usulan Syahrir tersebut menyelamatkan Indonesia ketika Belanda ngelancarin Agresi Militer I tahun 1947. Berkat adanya pasal ini, Belanda terbukti melanggar perjanjian dan harus menuntaskan persengketaan wilayah ini pada sidang Internasional. Momentum inilah yang membuat seluruh dunia sadar bahwa Republik Indonesia sedang ditindas oleh mantan penguasa koloninya. Dunia semakin berpihak pada NKRI.

Syahrir awalnya memberikan umpan yang kemudian berbalik menjadi serangan balasan yang merontokan pertahanan politik Belanda. Namun pada akhirnya, giliran Bung Hatta yang menjebol pertahanan terakhir Belanda dengan pukulan telak di Konferensi Meja Bundar (23 Agustus – 2 November 1949).

Dalam upaya menuntaskan misi kedua ini, ada 2 prestasi Syahrir yang membuat dia dikenang sebagai diplomat ulung yang sangat cerdik membaca situasi dunia internasional. Pertama adalah keputusan cerdiknya untuk memberikan bantuan pada India yang saat itu sedang krisis pangan, dengan mengirim 500,000 ton beras pada 20 Agustus 1946. India yang saat itu masih berada dalam koloni Inggris menyambut baik bantuan itu. Inggris yang memiliki kekuatan politik yang besar di Eropa, mulai menaruh simpatik pada Negara bernama Indonesia.

BACA JUGA: Potret Wajah Hannah Al Rashid Tanpa Make Up Ini Natural Banget




biografi sutan syahrirsutan syahrir diplomat kancilsejarah sutan syahrir dan meja bundar

Share to: